RSS

SALAFI BUKAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH?

12 Jan

Sebuah kritik atas kedustaan website al-ikhwan.net

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek-sejelek perkara adalah bid’ah, setiap bid’ah pasti sesat. Amma ba’du.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. al-Ahzab : 70-71).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk baginya dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 115).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah (hai Muhammad); Inilah jalanku! Aku berdakwah mengajak [manusia] menuju Allah di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku, dan Maha suci Allah aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat/ketulusan.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Untuk Allah, rasul-Nya, Kitab-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan untuk segenap rakyatnya.” (HR. Muslim).

Sesungguhnya para ulama salaf [baca: ulama terdahulu] –semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut mereka yang sejati- telah mengajarkan kepada kita untuk bersikap lapang dada menerima kebenaran. Sudah sangat akrab dalam telinga kita ucapan mereka, “Apabila suatu hadits terbukti sahih maka itulah madzhabku.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah mengatakan, “Barangsiapa menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggakan hal itu gara-gara mengikuti pendapat siapa saja.” (bacalah atsar-atsar ini dalam mukadimah Shifat Sholat Nabi karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).

Oleh sebab itulah sebagai bentuk nasehat kepada saudara kami sesama kaum muslimin yang merindukan kebenaran dan keridhaan ar-Rahman, dalam kesempatan ini kami ‘terpaksa’ menyajikan tulisan yang cukup pedas ini kepada khalayak. Salah seorang tokoh gerakan dakwah –semoga Allah menunjukinya- pernah mengatakan ungkapan yang tidak layak untuk kita ingkari, “Maka tidak ada seorang pun yang boleh merasa lebih tinggi sehingga tak boleh untuk dibantah… dan tidak ada seorang pun yang boleh menyombongkan diri terhadap kebenaran [yang datang]…” (Ucapan Salman al-Audah, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullah dalam Mukadimah Su’al wa Jawab haula Fiqh al-Waqi’, hal. 15).

Saudaraku sekalian –semoga Allah melapangkan dada kita untuk mengikuti kebenaran- sesungguhnya kadzib atau dusta adalah salah satu akhlak tercela yang diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga mempertahankan kebodohan adalah salah satu karakter jahiliyah yang tidak pantas untuk dilestarikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apayang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perkara-perkara yang keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang sama sekali tidak Allah turunkan bukti atasnya, dan [Allah juga mengharamkan] kalian berbicara tentang Allah apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. al-A’raaf : 33).

Sebuah perkara yang sudah demikian jelas bagi umat Islam dan para ulamanya bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik dalam hal aqidah, akhlaq, ibadah, jihad, maupun dalam hal dakwah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama berjasa bagi umat Islam yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah : 100). Salaf adalah generasi terdahulu umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshar, para tabi’in dan juga tabi’ut tabi’in. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku [para sahabat], kemudian sesudahnya [tabi’in], kemudian sesudahnya lagi [tabi’ut tabi’in].” (HR. Bukhari dan Muslim). Suatu ketika beliau juga bersabda kepada Fathimah radhiyallahu’anha, “Sesungguhnya sebaik-baik salaf/pendahulu untukmu adalah aku.” (HR. Muslim).

Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti jejak para salaf (sahabat), dan jauhilah pendapat akal orang-orang itu meskipun mereka menghias-hiasinya di hadapanmu dengan ucapan yang indah.” Imam adz-Dzahabi rahimahullah ketika memuji Imam ad-Daruquthni rahimahullah yang enggan untuk mendalami filsafat, beliau berkata, “Beliau [ad-Daruquthni] adalah seorang salafi.” Maka salafi adalah penisbatan kepada generasi terbaik umat ini. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Bukanlah suatu aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf [secara terang-terangan] dan merasa mulia dengannya. Bahkan pernyataannya itu wajib diterima, dikarenakan madzhab salaf itu tidak lain merupakan kebenaran itu sendiri.” (bacalah Limadza ikhtartul manhaj salafy karya Syaikh Salim al-Hilali). ash-Shabuni rahimahullah –seorang ulama yang sangat terkenal- pun telah menulis kitabnya yang sangat masyhur dalam hal aqidah yaitu Aqidah Salaf Ash-habul Hadits. Bahkan, salah seorang tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin di negeri ini pun mengakui bahwa salafi merupakan penisbatan yang terpuji, sebuah upaya merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush shalih, itulah salafi, sebagaimana yang ditegaskan di dalam pernyataan ittijah fiqih Dewan Syari’ah Partai Keadilan [ataukah mereka mengatakan bahwa dalam hal fiqih ittijah mereka salafi namun dalam hal aqidah tidak salafi?].

Oleh sebab itu, sungguh perkara yang aneh bin ajaib dan sangat memprihatinkan ketika salah satu penulis mereka mengatakan dengan tanpa malu di dalam artikelnya yang mengupas tentang aqidah dan mengungkapkan nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, saudaraku tersebut [yang tidak menyebutkan nama aslinya] –semoga Allah menyadarkannya- mengatakan, “Adapun istilah yang sekarang coba dipopulerkan oleh sebagian orang, yaitu istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, rubrik Tsaqafah Islamiyah, oleh: Abi AbduLLAAH. Dipublikasikan pada 29/1/2007 / 10 Muharram 1428 H).

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Ini jelas merupakan kedustaan atas nama al-Kitab, as-Sunnah, dan kitab-kitab ulama salaf. Allah lah yang menjadi saksi, sebelum mempublikasikan tulisan ini kepada khalayak saya telah mengirimkan minimal dua kali kritik dan komentar kepada mereka untuk meluruskan hal ini [komentar saya yang pertama sudah pernah saya kirimkan sejak beberapa waktu yang silam, dan saya berharap setelah itu terdapat kemajuan, namun dengan takdir Allah beberapa waktu lamanya saya tidak lagi membukanya dan kini dengan tampilan barunya ternyata tulisan itu tidak berubah satu kata pun!]. Namun kiranya tanggapan saya tidak mereka perhatikan. Maka dari itu, saya harus mengemukakan kekeliruan ini kepada para pembaca sekalian agar saudara-saudara kita yang lain tidak ikut terpedaya oleh kepalsuan dan kekeliruan yang diserukan oleh sebagian manusia. Saya berharap dengan sangat agar penulis artikel tersebut meralat ucapannya yang sangat fatal dan bahkan bertentangan dengan pernyataan tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, dan yang lebih menyedihkan adalah ternyata apa yang ditulisnya bertentangan dengan al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan para a’immah! Laa haula wa laa quwwata illa billaah!

Sadarlah wahai para pemuda! Islam tidak mengenal prinsip tujuan menghalalkan segala cara. Di dalam Islam dusta adalah perbuatan dosa yang sangat besar. Oleh sebab itu para ulama hadits masih tetap menerima riwayat ahlu bid’ah selama dia tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak dikenal berdusta. Bahkan, para pendusta itu lebih hina dalam pandangan mereka [ulama ahli hadits] daripada kaum ahlu bid’ah. Maka mereka tidak segan-segan untuk menggelari para tukang dusta itu dengan ‘Kadzdzab’,’ Dajjal’ dan lain sebagainya demi terpeliharanya keutuhan dan kemurnian hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ajaran Islam dari berbagai kotoran penyimpangan.

Oleh sebab itu wahai saudaraku, tegakkanlah keadilan yang sering kalian dengung-dengungkan itu, belalah kebenaran dan kejujuran yang sering kalian serukan itu, bersikaplah terbuka dan jangan taklid buta, berpikirlah dengan jernih, “Apakah kalian perintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan sementara kalian melupakan diri kalian sendiri?”. Janganlah seperi ahli kitab yang ‘ngotot’ menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya. Aduhai, tidakkah kalian ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dusta, sesungguhnya dusta akan menyeret kepada perbuatan fajir, dan sesungguhnya perbuatan fajir akan menyeret menuju neraka. Sesungguhnya apabila seseorang selalu berbuat dusta maka di sisi Allah orang itu akan tercatat sebagai seorang pendusta. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Silakan anda menilai -wahai saudaraku yang bijak- siapakah yang layak untuk kita hiraukan? Hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ucapan para ulama ataukah perkataan tanpa dasar yang sangat arogan semacam itu, “Adapun istilah yang sekarang coba dipopulerkan oleh sebagian orang, yaitu istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, rubrik Tsaqafah Islamiyah, oleh: Abi AbduLLAAH. Dipublikasikan pada 29/1/2007 / 10 Muharram 1428 H). Ini adalah ucapan yang sangat arogan, belum pernah kita dengar ada di antara ulama salaf yang mengatakan demikian.

Kalau hadits Nabi dan keterangan para ulama tidak perlu dihiraukan, maka ucapan siapa lagi yang akan kita ikuti wahai saudaraku? Benarlah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi : 103-104). Sungguh benar ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya.”

Sebagai nasehat terakhir, renungkanlah kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. al-Ahzab : 70-71). Semoga lisan-lisan kita terjaga dari dusta, demikian pula pena yang kita goreskan, ingatlah bahwa semuanya dicatat oleh malaikat dan setiap kita akan ditanya tentang apa yang telah diperbuatnya di alam dunia. “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil serta karuniakan kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.” “Ya Allah, janganlah Kau sesatkan hati kami setelah Kau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha pemberi karunia.” Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Selesai disusun di Yogyakarta, 15 Muharram 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah menerima amalnya

 
20 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 12, 2009 inci Pemurnian Ajaran

 

Tag: , ,

20 responses to “SALAFI BUKAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH?

  1. ammar sholahuddin

    Januari 13, 2009 at 5:29 am

    Assalamu’alaikum
    pertama saya sangat berterimakasih atas tulisan-tulisan yang ada, selanjutnya saya mohon izin untuk mengikutkannya dalam blog saya.

    wassalamu’alaikum

     
  2. elvin

    Januari 13, 2009 at 9:01 am

    Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh
    mohon penjelasannya…sejak kapan istilah salafi itu di pakai utk satu kelompok atau golongan tertentu ?? Karena hari ini begitu banyak website orang-orang yang merasa salafi…atau paling salaf di antara orang2 yang ingin menegakkan sunnah. Ada yang memakai nama panggilannya dengan tambahan seperti anto-salafi…fulan salafi…dll Apakah ini di contohkan oleh Rasulullah dan para shahabat ?? Yang lebih parah…saya lihat kebanyakan orang-orang seperti ini tidak bisa bergaul di masyarakat. Hadir di suatu masjid tidak pernah bertegur sapa dengan jama’ah masjid yang lain. Dan kalau kita tanyakan kepada sesama jama’ah masjid..tidak ada yang tau nama mereka…padahal mereka tinggal di situ bertahun-tahun ? Apakah ini manhaj Salaf ??

     
  3. ahmad

    Januari 13, 2009 at 9:06 am

    Ya Allah persatukanlah umat ini dalam Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jangan Engkau cerai beraikan Wahai Dzat yang menguasai seluruh makhlukNYA. Semoga kalian yang berselisih diberi petunjuk dan hidayah, begitu pula saya. Ingat lah umat ini terpecah 72 golongan. Semuanya ahlul naar kecuali satu. Semuanya mengangap paling benar. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-NYA dan memberi petunjuk serta hidayah dalam mengapai kebahagian di dunia dan akhirat.

     
  4. dedi heri yanto

    Januari 13, 2009 at 1:22 pm

    Terima kasih Atas Keterangannya ,Jazzakallah

     
  5. Abu Ammar

    Januari 13, 2009 at 3:59 pm

    Bahkan ana pernah tidak sengaja mendengar kajian di sebuah radio ponpes nadhliyyin di kota Gresik dengan materi kitab “risalah ahlussunnah wal jama’ah” berbahasa arab karya K.H. Hasyim Asy’ari, di kitab itu (kalo tidak salah di fasal tentang bagaimana orang jawa bermazhab) disebutkan bahwa Salafiyyin itu adalah ahlul haq. Ana belum lihat kitab aslinya, namun begitulah yang disebutkan oleh pemateri (pengajar ponpes), barangkali ada ikhwan yang memiliki serta mengecek kitab aslinya.

     
  6. abduh

    Januari 14, 2009 at 9:45 am

    Barakallahu fiik akhi
    Inni uhibbuka fillah

     
  7. Ari Wahyudi

    Januari 14, 2009 at 3:17 pm

    Untuk Akh Elvin, wa’alaikumussalamwarahmatullahi wabarakatuh
    Sesungguhnya istilah salafi sudah ada sejak jaman dulu, sebagaimana sudah dicontohkan ucapan adz-Dzahabi ketika memuji ad-Daruquthni. Jadi istilah salafi tidak dibatasi pada individu atau kelompok tertentu. Menggunakan nisbat salafi sebenarnya hal yang tidak mengapa bahkan boleh. Namun hendaknya tidak diiringi dengan kesombongan atau merasa paling benar sendiri, sebab tidak semua orang yang menyandarkan diri kepada manhaj salaf itu pasti seperti apa yang dia inginkan. Bisa saja karena minimnya ilmu atau karena salah paham seorang salafi terjatu dalam kesalahan. Sebagaimana para ulama yang juga tergelincir dalam kesalahan namun mereka tetap dihormati dan tidak dikeluarkan dari Ahlu Sunnah. Adapun perorangan maka hal ini dikembalikan kepada dalil apakah orang yang mengaku mengikuti manhaj salaf itu sesuai dengan dalil ataukah tidak, dan tidak selayaknya kita menilai manhaj dengan melihat perbuatan sebagian orang saja yang sebenarnya mereka bukanlah ulama, sebab pegangan kita adalah dalil bukan perbuatan atau ucapan sebagian orang. Semoga Allah memperbaiki keadaan kita semua. Terima kasih atas kritikannya.

     
  8. Adi

    Januari 16, 2009 at 2:18 pm

    Istilah salafy bukan hanya dari lisan tapi juga perbuatan,ucapan,dengan diamalkan

     
  9. bambang astrajingga

    Januari 17, 2009 at 3:51 pm

    terima kasih atas keteranga semoga dapat diterima saudara – saudara kita

     
  10. endi

    Februari 12, 2009 at 5:39 am

    ohhh begitu ihwalnya ,semoga kita dapat petunjyk dr Allah SWT

     
  11. farijan

    April 18, 2009 at 8:39 am

    sesungguhnya salafi/ wahabi itu benar…………………..

     
  12. abu yusuf

    April 25, 2009 at 12:37 am

    semoga janji Alloh, untuk memberikan balasan pahala bagi yang mengajarkan kebenaran, kan tercurah kepada antum…amiin.

     
  13. very

    Juli 13, 2009 at 12:18 am

    syukron jazakumullahu khoiron katsiro……………..? semoga Allah memudahkan kita dalam berda’wah, Amiin

     
  14. UMMU ALLYSA

    Juli 24, 2009 at 11:40 pm

    Assalamualaikum, marilah kita tuntut ilmu Sepanjang bersumber pada ALQUR’AN dan HADIST shahih,lalu praktekkan dalam diri dan tebarkan pada lingkungan sekitar kita,lalu lebih luas dan luas lagi.Semoga ALLOH selalu melindungi kita dari AdzabNya di dunia,kubur dan akhirat.AMiiin

     
  15. Syamsul

    Oktober 12, 2009 at 8:29 am

    “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. al-Ahzab : 70-71). Semoga lisan-lisan kita terjaga dari dusta, demikian pula pena yang kita goreskan, ingatlah bahwa semuanya dicatat oleh malaikat dan setiap kita akan ditanya tentang apa yang telah diperbuatnya di alam dunia. “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil serta karuniakan kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.” “Ya Allah, janganlah Kau sesatkan hati kami setelah Kau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha pemberi karunia”

     
  16. Anto

    Oktober 14, 2009 at 4:13 pm

    kalo bisa via facebook juga
    saya ingin belajar islam yang lurus, bidah dikit saya mundur

     
  17. Rudi

    Juli 4, 2010 at 3:26 pm

    kepada akhi ari wahyudi….kemudian saya ingin bertanya, apakah kemudian jika ada dari “ORMAS” muhamadiyah, atau NU atau Persis atau yang lainnya, dimana dia meninggalkan bid’ah dan mengamalkan sunah bisa juga termasuk kedalm golongan salafi?

     
  18. Ari Wahyudi

    Juli 12, 2010 at 8:02 pm

    bisa sekali,

     
  19. Nisa Bo Sa

    Februari 5, 2014 at 1:33 am

    TULISAN DI ATAS PALSU TIDAK MENCOCOKKAN MAKNA AHLSUNNAH YANG BENAR…. SEPERTI DI BAWAH INI….

    Definisi Salaf , Definisi
    Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang benar

    C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
    Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

    Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

    خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

    “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]

    Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”[4]

    Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]

    Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

    Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8]

    D. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
    Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
    Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

    As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[9]

    Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[10]

    Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”[11]

    Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[12]

    Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [13]

    Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

    Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[14]

    اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

    “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[15]

    Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

    Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).

    Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:

    لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

    “Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”[16]

    Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

    “Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang-orang asing).” [17]

    Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

    “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”[18]

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’:

    اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

    “Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.”[19]

    Dalam riwayat yang lain disebutkan:

    …الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

    “Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[20]

    Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, رحمهم الله[21].

    Imam asy-Syafi’i [22] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” [23]

    Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[24]

    E. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
    Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
    ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [25] berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:

    يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

    “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106]

    “Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”[26]
    Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:

    1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

    2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[27]

    3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

    4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan[29] : “…Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian…”

    5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [30] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini…”

    6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “…Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[31]

    7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

    Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

    Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[32]

    Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

    1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.

    2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

    3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.[33]

    _______
    Footnote
    [1]. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
    [2]. Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
    [3]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
    [4]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
    [5]. Al-Mufassiruun bainat Ta’-wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih (hal. 34).
    [6]. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
    [7]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdillah bin Khidhir bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdul Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H), Syamsuddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir (wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibnu Katsiir.
    ‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum tetapi ahlul bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau rahimahullah dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
    [8]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).
    [9]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
    [10]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
    [11]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th. 1420 H.
    [12]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
    [13]. Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 61) oleh Khalil Hirras.
    [14]. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya -Fathimah bintu al-Khaththab- masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua Kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang Al-Qur-an dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh ‘Utsman Radhiyallahu anhu ke Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
    [15]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Lalika-i (no. 160).
    [16]. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu.
    [17]. HR. Muslim (no. 145) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
    [18]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
    [19]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170 no. 689), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah (no. 173) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah a. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1273).
    [20]. HR. At-Tirmidzi (no. 2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu anhu
    [21]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah al-Manshuurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.
    [22]. Lihat kembali biografi beliau t pada catatan kaki no. 14.
    [23]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
    [24]. Al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
    [25]. Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penafsir Al-Qur-an dan pemuka kaum Muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ulama dan lautan ilmu, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafaur Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu anhuma pernah menjadi gubernur pada zaman ‘Utsman a tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330, no. 4781).
    [26]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Darus Salam), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/79 no. 74).
    [27]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/71 no. 49 dan 50).
    [28]. Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi rahimahullah, seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khurasan dan bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15, no. 5448), Tahdziibut Tahdziib (VII/264, no. 540) dan Siyar A’laamin Nu-balaa’ (VIII/421).
    [29]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albani rahimahullah.
    [30]. Beliau rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa Al-Qur-an adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan Al-Qur-an adalah Kalamullah, bukan makhluk. Beliau wafat di Baghdad. Beliau menulis beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits (Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
    [31]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary rahimahullah.
    [32]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44).
    [33]. Lihat pembahasan tentang berbagai perbedaan pokok antara Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah wa Manhajil Asyaa’irah fii Tamhiidillaahi Ta’aalaa oleh Khalid bin ‘Abdil Lathif bin Muhammad Nur dalam 2 jilid, cet. I/ Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1416 H.

     
  20. Nisa Bo Sa

    Februari 5, 2014 at 1:34 am

    REFERENSI / RUJUKAN KITAB2 NYA JELAS DAN TERANG…. KALAU MAU JUJUR ….

     

Tinggalkan komentar